Kamis, 26 Mei 2016

SAYYID JALALUDDIN BIN MUHAMMAD WAHID AIDID


Sayyid Jalaluddinn bin Muhammad Wahid Al-Aidid lahir di Aceh, tahun 1603, merupakan cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Juga merupakan keturunan Hadramaut yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Ra, putri dari Rasulullah Saw. Tepatnya keturunan yang ke-27 dari Nabi Muhammad Saw.

Ia sempat menuntut ilmu ke negeri Timur Tengah. Saat ia tiba di kerajaan Goa Makassar pada abad 17 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, sempat singgah terlebih dahulu ke Banjarmasin untuk menyebarkan agama Islam. Di Makassar beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Oleh Sayyid Jalaluddin, Putra Mahkota kerajaan Goa diberi nama Muhammad al-Baqir Imallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Dan Sultan Hasanuddin merupakan muridnya yang pertama, dan berguru padanya selama 16 tahun. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya.

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang beliau bawa merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan — seperti dikutip Abd. Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk. dalam Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982 —merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang, Dato’ di Tiro dan kawan-kawan pada awal abad ke-17.

Ia menikah dengan Daeng Ta Mameng binti Sultan Abdul Kadir Alauddin, seorang putri bangsawan yang masih mempunyai darah kerajaan Gowa, dan mempunyai 5 orang anak. Saat ia pertama datang ke Makassar banyak yang meragukan bahwa ia seorang keturunan dari Hadramaut, karena pada saat itu faham Al-Aidid belum menyebar di Indonesia, sehingga ia diacuhkan oleh sultan Makassar. Sehingga ia berpindah ke Cikoang dan menyebarkan agama Islam disana.
Sulkadri Al Aidid, SE Kr. Limpo & Istrinya
(salah satu keturunan Sayyed Jalaluddin)

                                                              

Paduai Kr. Tompo (Karaeng Turikale) & Istrinnya



Upacara Maudu Lompoa

Untuk tujuan menyebarkan agama Islam itulah, Ia memulai tradisi upacara "Maudu Lompoa." Dimana sengaja diselenggarakan upacara tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu maulid Nabi Muhammad Saw. Ia menulis kitab Rate’ yang berisi inti dari ajaran agama Islam serta riwayat hidup Rasulullah Saw hingga Jalaluddin Al-Aidid. Dimana isi dari kitab tersebut dibacakan pada setiap peringatan maudu Lompoa tersebut.
Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid mengajarkan 3 hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-Ma’rifah, al-Iman dan al-Mahabbah.

Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian dan kelahiran Nabi Muhammad saw. Masyarakat Cikoang mengenal 2 proses kelahiran beliau, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam syahadah (dunia).
Kejadian di alam ghaib berwujud “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang daripadanyalah tercipta alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang — khususnya para Sayyid — percaya bahwa Allah menyinari dan memberi cahaya langit dan bumi (bertajalli) melalui “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai pokok kejadian segala makhluk dan rahmat bagi seluruh Alam.

Sedangkan kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini merupakan kelahiran dengan membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegang. Karenanya sebagai upaya untuk menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar kelahiran Nabi prosesi peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral. Masyarakat Takalar —khususnya para sayyid—  meyakini sepenuhnya kelahiran Rasulullah saw merupakan isyarat kemenangan. Dan kemenangan harus diwujudkan dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa kepada hasrat suci Nabi.

Saat perang adu domba Belanda bergejolak antara suku Bugis di Buton dan suku Makassar di Gowa, beliau ikut membantu dalam perlawanan melawan Aru Palaka, Raja Bone. Kemudian, Saat perang mulai bergejolak dengan ditolaknya perjanjian Bungaya oleh Karaeng Galesong, Karaeng Bontomaranu, serta Sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin pada tahun 1667. Maka dengan perjanjian yang mengharuskan Karaeng Galesong dan sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin untuk diserahkan kepada pihak Belanda karena dianggap musuh yang paling besar dan berpengaruh, maka mereka melarikan diri ke tanah Jawa. Sayyid Jalaluddin pun turut serta dalam acara melarikan diri tersebut. Mereka mendarat pertama di ujung barat pulau Sumbawa, sesampainya disana mereka berpisah. Dimana Karaeng Galesong, sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin, serta laskar Karaeng Galesong melanjutkan perjalanan ke tanah Jawa di arah barat. Sedangkan Sayyid melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga tiba di Bima. Dengan membawa seluruh harta yang mereka bawa dari Makassar, dan mengganti nama selama perjalanan menjadi Mutahar.

Sayyid Jalaluddin Aidid hidup di Bima sekitar 30 tahun, dimana Ia menyebarkan agama Islam di Bima. Walaupun demikian, beliau tetap memiliki kendala yaitu belum terkenalnya faham Al-Aidid sebagai bagian dari Hadramaut, dibandingkan dengan nama-nama hadramaut lain seperti Assegaf, Kaff, dan yang lainya. Maka ia menerima keraguan dari para sultan dan orang-orang kerajaan.

Sayyid Jalaluddin Aidid wafat saat menyebarkan agama Islam di daerah pedalaman Bima tahun 1693, dimana ia mencoba mengajak para penduduk asli yang masih tinggal di puncak gunung untuk masuk kedalam agama Islam. Dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Sayyid jalaluddin Aidid adalah ajaran sesat. Para pihak Belanda mencoba untuk mengadu domba, sehingga ditikamlah Sayyid Jalaluddin Aidid dengan tombak oleh salah satu penduduk. Saat ia sekarat, Belanda menembaknya hingga tewas.

Saat ini makam Sayyid Jalaluddin Al-Aidid berada di Bima. Di puncak bukit salah satu dusun terpencil di Bima, dimakamkan oleh para pengikut setianya serta para penduduk yang mengikuti ajarannya. Saat ini tempat itu menjadi pemukiman yang kental nilai Islaminya, baik dari segi kehidupan sehari-hari hingga tradisi adat mereka. Doa tak putus-putusnya untuk Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, dan ditempatkan di syurga-Nya. Amin.

Sabtu, 14 Februari 2015

Silsilah Kerajaan Laikang

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN LAIKANG



        “LAIKANG” atau Desa Laikang yang berada dalam wilayah Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan pada abad ke 15 berdiri sebuah kerajaan yang dikenal bernama Kerajaan LAIKANG.
Raja pertama Kerajaan Laikang dipimpin oleh Karaeng TUNIPASSAYYA,  Raja kedua bernama ARU CINA dan Raja ke Tiga adalah PETTA PANGGAUKA.
Petta Panggauka mempunyai Permaisuri bernama BASSE DAENG NGALUSU dan dikaruniai oleh anak perempuan bernama MAMMINASA DAENG ROSO.
Pada pemerintahan Raja ke Tiga, Kerajaan LAIKANG tenteram dan damai. Beliau memimpin Kerajaan kurang lebih 30 Tahun lamanya dan setelah itu digantikan oleh putrinya (Raja Ke 4) yang bernama MAMMINASA DAENG ROSO.
          Pada masa pemerintahan Mamminasa Daeng Roso (Raja Ke 4) Kerajaan Laikang dilanda musibah dan bencana silih berganti. Raja Mamminasa Daeng Roso tidak mampu memimpin Kerajaan Laikang dan menyerahkan Tampuk Pimpinan ke Kelembagaan Adat yang pada saat itu bernama “BAKU APPAKA (Pati). Pada saat itu terjadi pertemuan antara Raja Laikang dan Kelembagaan adat dan menghasilkan kesepakatan yaitu mengutus TELIK SANDI ke Kerajaan BONE untuk mencari pemuda yang pantas menjadi Raja Laikang.
Ir. H. Sukwansyah A. Lomba MSi. Kr. Nojeng          M. Yunus Aidid SH. Kr. SIbali
                   Pemangku Adat "Karaeng Laikang"         Ketua Lembaga Adat "Karaeng Laikang"
    Singkat cerita Telik Sandi tersebut kembali dari Kerajaan Bone dengan membewa kabar bahwa ada seorang pemuda yang pantas menjadi Raja Laikang. Pemuda tersebut adalah bangsawan dari Kerajaan Bone yang bernama “Andi Makkasaung Rilangi” Putra dari Andi Mappatunru Puang ta Opu dan Ibunya bernama “Tanri Olle Datunna Sabang”. Sedangkan kakek dari pemuda tersebut bernama “Andi Tunru Puang Tunisombayya.” Pada saat itulah Raja Laikang ke 4 mengutus Baku Appaka (Lembaga Adat) untuk mencari pemuda tersebut di Kerajaan BONE. Yang diutus pada saat itu bernama Barumbung Daeng Tale (Utusan Kerajaan Laikang) dengan membawa pasukan kerajaan Bone dengan menempuh perjalanan 3 hari lamanya. Sesampainya di Kerajaan Bone utusan tersebut disambut oleh Mangkauka Ri Bone. Dan pada saat itu juga berlangsung acara Adat.
    Semua Pemuda-pemuda yang gagah berani dan dari bangsawan kerajaan Bone berkumpul untuk mengadu kesaktian. Disitulah terlihat pemuda yang bernama Andi Makkasaung Ri Langi dengan memakai Pantoro dan sarung Sutera.
     Setelah acara Adat selesai, Utusan dari kerajaan Laikang mendekati Pemuda tersebut dan meminta untuk menjadi Raja Laikang. Maka Pemuda tersebut mengajak kerumahnya untuk bertemu sekaligus menyampaikan ke kedua orang tuanya.
Pada saat itu orang tua dari Andi Makkasaung Ri Langi menyetujui dan Beliau berkata “Kerajaan Bone dan Kerajaan Laikang masih ada hubungan darah dari simbol Kerajaan yaitu TALLUNG BOCCOA RI BONE (Mangkauka Ri Bone) dengan Simbol Kerajaan Laikang GARUDAYA RI LAIKANG.
     Tanpa mengulur waktu, keesokan harinya Andi Makkasaung Ri Langi mempersiapkan Perahunya yang bernama “LESSA LASARANG KEKEA” Andi Makkasaung Ri Langi meminta kepada utusan Barumbung Daeng Tale dan rombongannya untuk ikut dengan Beliau. Dan Naiklah semua ke Perahu dengan menempuh perjalanan laut. Disinilah Andi Makkasaung Ri langi menunjukkan kesaktiannya dengan mengayung tiga kali, perahu tersebut sampai di pantai Kerajaan Laikang yang bernama PUNTONDO.
     Sesampai di Kerajaan Laikang, Andi Makkasaung Ri Langi disambut dengan acara Adat. Berselang dua hari Raja Laikang yang bernama Mamminasa Daeng Roso menyerahkan Tahtanya ke Pemuda tersebut yang tidak lain bernama Andi Makkasaung Ri Langi sekaligus mempersunting Mamminasa Daeng Roso.
Pernikahan tersebut dikaruniai tiga orang anak.masing-masing bernama, 
  Compong Leko Daeng Karaeng. (Anak Pertama)
  Daeng Muntu (Anak ke dua) dan
  Ranjabila Daeng Matino (Anak ke Tiga)

      Selama kepemimpinan Andi Makkasaung Ri Langi sebagai Raja kelima, Kerajaan Laikang semakin terkenal dengan kesaktian Raja dan dengan Adat Istiadatnya.
 Pada abad tersebut muncullah “Sayyed Jalaluddin” yang juga keturunan ke 27 Rasulullah SAW. Beliau datang dan menyebarkan agama Islam di Kerajaan Gowa dan mempersunting Putri Kerajaan Gowa yang bernama Yacara Daeng Tamami. Dan beliau pindah ke Kerajaan Laikang dengan mengendarai selambar Sajadah diatasnya membawa beberapa Kitab dan sebuah Cerek.
      Sayyed Jalaluddin dikenal menyebarkan agama Islam dikawasan Timur Indonesia dan mendarat di Kerajaan Gowa kemudian ke daerah Cikoang, Laikang.
 Sayyed Jalaluddin mempunyai keturunan yang bernama Sayyed Umar Tuanta Toaya dan Sayyed Sahabuddin Tuanta Loloa.
       Di Kerajaan Gowa, Sayyed Jalaluddin adalah guru pertama “SYEK YUSUF”. (Tuanta Salamaka)  dalam mempelajari ilmu-ilmu Islam. Pada saat itu Sayyed Sahabuddin menikahi seorang Perempuan yang bernama Syarifah Tuang Baenea dan dikaruniai anak laki-laki bernama Sayyed Sirajuddin. Sedangkan Saudaranya Sayyed Umar Tuanta Toaya menikahi seorang gadis melayu yang bernama Ince Raiya.
Di Akhir kepemimpinan Raja Laikang “Andi Makkasaung Ri Langi”, Beliau mengangkat Putri pertamanya bernama Compong Leko Daeng Karaeng sebagai Raja ke 6 di Kerajaan Laikang.
       Pada masa Pemerintahan Compong Leko Daeng Karaeng, di Kerajaan Gowa terjadi peperangan sengit melawan Belanda.
      Raja Gowa pada waktu itu meminta kepada Kerajaan Laikang untuk ikut membantu mengusir penjajah ditanah Makassar khususnya di Kerajaan Gowa. Tanpa mengulur waktu, Raja Laikang yang dipimpin langsung oleh Compong Leko Daeng Karaeng membawa Pasukannya ke kerajaan Gowa, Sesampai di Kerajaan Gowa disambutlah oleh Sombayya Ri Gowa.
Kemudian Sombayya Ri Gowa berkata “Apakah tidak ada lagi leleki pemberani di Kerajaan Laikang sehingga Raja Laikang mengutus perempuan yang ikut membantu Kerajaan Gowa memimpin pasukan untuk berperang. Maka saat itu Raja Laikang Compong Leko Daeng Karaeng merasa malu dan langsung pulang ke Kerajaan Laikang.
      Sesampai di Kerajaan Laikang, Beliau langsung mengumpulkan Punggawa Kerajaan dan kerabatnya untuk membahas perkataan Sombayya Ri Gowa. Dan saat itu juga Compong Leko Daeng Karaeng berkata “LIPA LALANG KALENGKU KU PASULUKANGI, INAI-NAI ERO’ AMPAENTENGI SIRI’NA LAIKANG ASSAMBEANGA MAE A’BUNDU RI BUTTA GOWA, KUSAREANGI KERAJAANKU MANGE RI IYA. Artinya, “Sarung yang ada di Badanku akan Ku keluarkan kepada siapa saja yang berani menggantikan saya memimpin peperangan membantu Raja Gowa maka saya akan memberikan Tahta Kerajaan ini dan menjadi Raja Laikang.” Saat itu juga berdirilah seorang pemuda yang bernama Sayyed Jafar Sadiq yang tak lain adalah keponakannya sendiri yaitu anak dari Ranjabila Daeng Ti’no dan Ayahnya bernama Sayyed Sirajuddin cucu kandung dari Sayyed Jalaluddin. Maka pada saat itu juga dilantiklah Sayyed Jafar Sadiq menjadi Raja pertama Laikang dari keturunan Sayyed. Dan beliau adalah Raja Ke 7 Laikang.
       Keesokan harinya berangkatlah Sayyed Jafar Sadiq bersama Tubarani / Pasukannya menuju Kerajaan Gowa untuk membantu peperangan di Kerajaan Gowa dan dalam pertempuran tersebut beliau berhasil / Menang dan Sombayya Ri Gowa sangat berterima kasih kepada Sayyed Jafar Sadiq. Dan disaat itu pula mulailah hubungan kekeluargaan antara Raja Gowa dan Raja Laikang beserta seluruh Raja-Raja yang ikut membantu kerajaan Gowa mulai membaik dan saling mengenal..
Selama Pemrintahan Jafar Sadiq beliau memerintah dengan bijak dan disenangi oleh Rakyatnya. Kemudian Beliau wafat dan digantikan oleh keturunannya yaitu Sayyed Muhammad Patadang Daeng Ri Boko sebagai Raja ke 8. Kemudian Raja ke 9 bernama Sayyed Tikollah Daeng Leo setelah itu Raja ke 10 bernama Sayyed Muhammad Cincing diteruskan oleh raja ke 11 bernama Sayyed Muhammad Patadang Daeng Ri Boko setalah itu Raja ke 12 bernama Sayyed Manyyingarri. Dilanjutkan dengan Raja ke 13 bernama Andi Parawansyah dan Raja ke 14 bernama H.Andi Lomba Parawansyah (Karaeng Lomba) dan dilanjutkan oleh anaknya H.Andi Sukwansyah A.Lomba Karaeng Nojeng sebagai Raja ke 15.

Pemangku Adat dan Ketua Lembaga Adat KARAENG LAIKANG

                                   Ir. H. Sukwansyah A. Lomba MSi. Kr. Nojeng          M. Yunus Aidid SH. Kr. SIbali
                                          Pemangku Adat "Karaeng Laikang"         Ketua Lembaga Adat "Karaeng Laikang"

Rabu, 12 Maret 2014

Maudu Lompoa Cikoang Takalar

M. YUNUS AIDID SH. KARAENG SIBALI (KETUA LEMBAGA ADAT KARAENG LAIKANG)




KUNJUNGAN YANG MULIA RAJA SKALA BRAK LAMPUNG KE KERAJAAN LAIKANG






PEMASANGAN MAHKOTA KERAJAAN LAIKANG KE RAJA SKALA BRAK LAMPUNG

RUMAH ADAT/SEKRETARIAT LEMBAGA ADAT KARAENG LAIKANG

BARUGA MAUDU LOMPOA CIKOANG TAKALAR

BARUGA TEMPAT DZIKIR KELUARGA SAYYED MAUDU LOMPOA

IR. H. SUKWANSYAH A. LOMBA MSI. KARAENG NOJENG (PEMANGKU ADAT KARAENG LAIKANG)